Peta Kemiskinan 2010

Gagasan tentang Peta Kemiskinan lahir dari kebutuhan untuk menemukan sebuah visi strategis yang paling mutakhir dan jitu dalam upaya memberdayakan masyarakat melalui sumber daya lokal. Gagasan ini dimulai dari sebuah keyakinan bahwa masyarakat dapat mengatasi masalahnya sendiri melalui manajemen sumber daya yang dimilikinya. Indonesia dengan seluruh yang ada di dalamnya adalah mozaik yang indah. Saya fikir seharusnya tak akan tergambar wajah buram kemiskinan anak bangsanya manakala pada saat yang bersamaan kita juga dilirik sebagai negeri dengan kekayaan dan dimensi kemakmuran yang luar biasa.

Sebagai sebuah peta, buku ini haruslah memuat berbagai informasi berupa permasalahan kemiskinan, potensi pemberdayaan dan potret modal sosial sehingga tidak saja memotret masalah namun juga menyediakan peluang budidaya dan olah fikir kita untuk menyelesaikannya. Bagaikan sebuah bangunan matematika, tidak boleh ia hanya menjadi soal tak berjawab, namun harus menjadi sebuah persamaan-persamaan yang lengkap sehingga kita mampu menemukan seluruh besaran variabelnya. Menurut saya, Peta Kemiskinan haruslah memetakan masalah kemiskinan sekaligus peta peluang untuk mengatasinya.

Beberapa lembaga telah menerbitkan data kemiskinan. Tidak begitu banyak yang peduli tentang hitungan jumlah orang miskin yang bebeda-beda, barangkali karena kemampuan kita mengatasinya tak lebih dari sekedar peratusan dari angka itu. Ini bagaikan kita yang tidak mempedulikan ukuran luas jutaan kilometer persegi lautan kita yang kaya raya, karena kita baru dapat mengolahnya dalam jumlah ratusan kilometer persegi saja. Data jumlah orang miskin selain tak menjadi arah bagi kebijakan pemberdayaan dan pembangunan juga tak menunjukkan bagaimana bisa dituntaskan. Peta Kemiskinan yang baik bukan hanya tentang bagaimana sebuah teori kriteria kemiskinan dipadu-padankan dengan data survey lapangan, namun lebih jauh lagi harus memberikan kerangka pemikiran yang benar dan presisi tentang cara pandang kita terhadap kemiskinan.

Untuk pertama kalinya Peta Kemiskinan yang ditampilkan dengan pemanfaatan Geography Information System (GIS) ini mengolah data dari survei sosial ekonomi nasional dan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS dengan standar kemiskinan BPS. Meskipun demikian peta ini mencoba memberi gambaran berbeda tentang cara pandang kita dalam memotret mustahik (orang yang berhak mendapat zakat) yaitu dua golongan asnaf zakat Fakir dan Miskin dengan mengaitkannya dengan rasio jumlah mustahik itu dengan jumlah muzakki (orang yang memiliki kemampuan menunaikan zakat). Peta ini juga menampilkan data potensi kawasan sebagai wawasan sumberdaya bagi penyelesaian masalah kemiskinan. Data mengenai modal sosial berupa kearifan lokal, potensi sosial budaya, dan kondisi kualitatif lainnya belum dapat ditampilkan pada Peta Kemiskinan ini akan menjadi data penting bagi Peta Kemiskinan pada edisi berikutnya.

Saya percaya bahwa penetapan standar kemiskinan mendesak untuk direvisi dan dikembangkan. Dompet Dhuafa saat ini mengembangkan sebuah standar kemiskinan (had al kifayah) yang lebih tepat bagi cara pandang baru kita terhadap kemiskinan yang diharapkan mampu menginspirasi kebijakan strategis dibidang pembangunan dan pengentasan kemiskinan melalui keterlibatan multi stakeholder. Tentu saja ini tidaklah mudah. Hal ini membutuhkan sebuah pemikiran dan cara pandang mendasar dan integral tentang kemiskinan melalui kajian multi disipliner.

Saat ini saya juga merasa perlu mendorong sebuah gagasan mengenai ukuran dan angka yang dinamis untuk menunjukkan keadaan kemiskinan dan potensi pemberdayaannya melalui pendekatan partisipatif (participatory dynamic poverty and empowering map). Angka Kemiskinan yang bersifat dynamic akan memberikan kita ukuran yang tidak saja tepat dalam dimensi waktu namun sekaligus dapat menjadi alat ukur kinerja program pemberdayaan dan pembangunan. Diperlukan metodologi survey yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan data dynamic, maka pendekatan partisipatif dapat menjadi jembatan bagi peta kemiskinan ini.

Pendekatan partisipatif dalam pemetaan kemiskinan memungkinkan kita dapat memperoleh gambaran kemiskinan tidak dari kacamata pihak luar, namun menjadi semacam potret diri tentang kemiskinan itu sendiri. Hal ini dapat menghindari paralak dan bias data kemiskinan. Peta kemiskinan yang partisipatif juga memungkinkan kita dapat memperoleh data potensi yang semakin tepat dan potret modal sosial yang kaya ragamnya.

Bagaimanapun buku Peta Kemiskinan adalah sebuah kerja kolosal dari berbagai pihak dan prosesnya menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Proses pembuatan buku ini dimulai dengan lahirnya sebuah gagasan, dilanjutkan dengan diskusi marathon tentang kerangka pemikiran, penetapan lokus dan pengolahan data, pengeditan, perwajahan hingga penerbitan. Kami bertekad mengembangkan Peta Kemiskinan ini dengan terus memperkayanya dengan gagasan dan masukan anda sekalian. Selamat membaca peta dan menemukan harta karun bagi upaya kebangkitan dan kemandirian bangsa. [map]

Zakat dan Peta Pengentasan Kemiskinan

Malang benar Indonesia ini. Negara ini sebagian besar rakyatnya mempercayai zakat sebagai suatu sistem penting untuk pengentasan kemiskinan - dan juga sangat gemar berzakat - namun keyakinan ini tak nyambung dengan keyakinan negara. Zakat adalah wacana kesalehan., wacana peribadatan dan belum menjadi pemikiran pembanguan sosial apalagi sebagai diskursus ekonomi. Dalam peta pengentasan kemiskinan zakat mungkin cuma pelipur lara.
Banyak kita tak sempat menggali ajaran Zakat. Tak heran banyak yang tak mengerti zakat. Kita tahu sebatas kewajiban zakat yang 2,5 persen. Bagaimana zakat dikumpulkan, bagaimana zakat di administrasikan dan didistribusikan tak menjadi penting bagi kita. Bayangkan kebijakan strategis Rasulullah ketika membentuk tim Amilin yang berkembang kemudian menjadi baitul maal. Bayangkan juga bagaimana zakat (juga infaq, sedekah, wakaf dll) dihimpun dan didayagunakan untuk pembangunan negara dan dakwah pada masa itu. Kita sering dengar tentang kisah zakat di zaman Umar Bin Abdul Aziz yang fenomenal itu.
Istilah penyaluran zakat sangat menjebak. Karena akhirnya zakat benar-benar disalurkan dan didistribusikan dalam bentuk uang zakat itu sendiri. Lihatkah budaya memberikan amplop uang zakat. Padahal ditetapkannya Amil Zakat adalah untuk memetakan, merencanakan, mengembangkan dan memberdayakan zakat sebagai suatu komponen sumberdaya yang akan memakmurkan ummat. Jadi zakat memang harus didayagunakan, bukan sekedar disalurkan. Karena targetnya adalah memberdayakan, bukan sekedar keterampilan mendata si miskin, adalah penting memahami anatomi kemiskinan dan menemukan obat bagi penyakit sosial ini. Zakat harus di arsiteki secara terpadu bersama kekuakan pembangunan umat lainnya seperti sektor keuangan, perdagangan, permodalan, asuransi, pariwisata dll. Jadi zakat tak tunggal sebagai obat bagi kemiskinan. Ia harus holistic. Makanya butuh kebijakan kepimimpinan dan aturan yang cantik dan memberdayakan.
Ajaran zakat membuat kondisi kesalehan ummat maneingkat karena zakat mengajak kita semua mengaitkan kehidupan keseharian kita dengan kawajiban dan penglihatan Allah Swt. Tijaroh dan semua sektor pekerjaan rakyat kita dihitung dengan mengaitkannya dengan kewajiban zakat dan anjuran peduli kepada orang lain. Maka kondisi ini menciptakan kesalehan ummat. Jangankan mengurangi timbangan atau kecurangan perdagangan lainnya, dari keuntungan halalpun kita diharapkan menyisihkannya buat mereka yang tidak berpunya. Budaya zakat akan membentuk budaya bersih dan adil.
Zakat juga adalah sumberdaya yang tak kunjung henti. Selama kewajiban zakat masih ada, maka zakat adalah sumber daya abadi sampai hari kiamat. Namun keabadian zakat tak berbanding lurus dengan jaminan kecemerlangan zakat. Tiga unsur zakat yaitu muzakki, mustahik (asnaf) dan Amil adalah penentu zakat berdaya atau tidak. Maka kesuksesan zakat harus serius diupayakan bukan ditunggu atau sekedar dimpikan.
Lalu sudahkan kita ada dalam barisan pendukung konsep zakat?

Moh. Arifin Purwakananta
Direktur Program Dompet Dhuafa
Ketua Persidium gerakan Zakat Untuk Indonesia
Ketua Umum Humanitrian Forum Indonesia

Korban Pembagian Zakat

Tragedi meninggalkan 21 Orang masyarakat miskin di Pasuruan sangat mengenaskan. Sebagai seorang yang 9 ini bergelut di dunia zakat, in sangat memukul. Zakat harusnya menghidupkan bukan mematikan. Zakat harusnya menyuburkan kehidupan bukan menegasikan kehidupan.

Tragedi ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang menginginkan dana zakat an mengetahui kebiasaan membagi zakat. Sehingga jumlah pemohon zakat membluak dan tak biosa dikontrol.

Saya mencermati analisis dialog di TV baru-baru ini mangatakan bahwa salah satu penyebab orang kaya membayarkan zakat secara langsung adalah kurangnya kepercayaan masyarakat kepada badan amil zakat yang ada. Saya sendiri melihat ada beberapa hal yang patut kita perhatikan.

Kemiskinan

Kemiskinan Indoensia ada dilapisan terbawahnya. Dan ini setiap tahun tak juga pupus. Angka statistik kemiskinan diragukan untuk melihat jumlah si miskin sebenarnya. Kamiskinan ini tersebra di desa dan kota. Zakat saja tak mampu mengatasi kemiskinan. Kemiskinan harus ditumpas dengan kebijakan holistic dan keberpihakan kepada masyarakat banyak, bukan saja pada pemodal.

Pandangan Fikih

Fikih zakat di Indonesia masih membolehkan muzakki membayar langsung ke masyarakat. Ini juga adalah tradisi masyarakat islam. Namun dalam kondisi tidak normal seperti ini tradisi membagikan zakat langsung akan sangat berbahaya. Membayarkan zakat kepada lembaga belum menjadi suatu kewajiban.

Kelembagaan

Pemerintah melalui Badan Amil Zakat belum berperan maksimnal. Dengan luasnya wilayah republik ini dan ketidak berdayaan penangannnya zakat belum ditangani maksimal. Malahan Peran swasta berupa Lembaga Amil Zakat lebih maju dalam pengelolaan zakat. Walau sudah bisa disyukuri model kelembagaan ini pun tak mampu menjaring seluruh wilayah kemiskian Indonesia. Dengan kepercayaan yang minim pada negara, pemberdayaan zakat tetap harus melibatkan rakyat.

Aturan Pengelolaan Zakat

Aturan pengelolaan zakat harus memberdayakan seluruh potensi pengembangan zakat. Negara jharus menumbuhkan peran publikd alam pengelolaan zakat, sekaligus mengawasi, mengkordinir, menjewer lembaga-lembaga zakat yang nakal. Dengan demikian masyarakat tetap nyaman berzakat tanpa kehilangan kepercayaannya dan zakat dapat dioptimalkan oleh lembaga-lembaga amiol zakat.

Moh. Arifin Purwakananta
Ketua Presidium Gerakan Zakat Indonesia
0818152007

Pusat Data Kemiskinan

Pusat Data Kemiskinan menyajikan data kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengentaskan kemiskinan.